Allpengunjung, bukankah usuluddin ada empat : al-Qur’an, al-Hadits, Ijma’ dan Qiyas, tapi perhatikan armand, usuluddinnya adalah akal, bukan berdasar al-Qur’an , menolak al-Hadits, menentang ijma’ dan qiyas. mana jawaban pertanyaan ane tentang syarat2 nikah ? adakah persyaratan umur istri dalam kesahan pernikahan ?? Armand said :
QIYAS1. Pengertian Qiyas a. Secara Bahasa Secara bahasa, qiyâs merupakan bentuk masdar dari kata qâsa- yaqîsu, yang artinya ukuran, mengetahui ukuran sesuatu. Misalnya, "Fulan meng-qiyaskan baju dengan lengan tangannya", artinya mengukur baju dengan lengan tangannya; artinya membandingkan antara dua hal untuk mengetahui ukuran yang lain
بسم الله الرحمن الرحيم Silsilah Jawaban asy-Syaikh al-Alim Atha` bin Khalil Abu ar-Rasytah Amir Hizbut Tahrir Atas Pertanyaan di Laman Facebook Beliau “Fiqhiyun” Jawaban Pertanyaan Berbagai Pertanyaan Tentang Qiyas Kepada Zahid Thalib Nu’aim Soal Assalamu alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu. Syaikhuna al-jalil, semoga Allah melimpahkan keberhakan atas upaya Anda, semoga Allah menguatkan langkah Anda, melimpahkan pemberian yang besar kepada Anda, mengecilkan kesulitan-kesulitan untuk Anda dan memuliakan kita dengan menolong agamaNya, sesungguhnya Dia Maha mendengar lagi menjawab doa. Topik Berbagai pertanyaan tentang qiyas. Di awal, saya mohon maaf atas panjangnya pertanyaan. Semoga Allah menolong Anda di atas ketaatan kepada-Nya dan menjadikan kesabaran Anda ada di timbangan kebaikan Anda. Pertama di Jawab Soal tanggal 07/02/2014 dinyatakan Adapun catatan Anda seputar apa yang dinyatakan di buku “telah ditetapkan keberadaan qiyas sebagai dalil syara’ dengan dalil qath’iy dan dalil-dalil zhanniy”. Ucapan Anda ada aspek benarnya. Meskipun kata ad-dalîl itu disebutkan di dalam ushul dan di dalam fiqh, tetapi konotasinya berbeda dari sisi qath’i dan zhanni. Dan karena topiknya di sini adalah tentang dalil-dalil ushul, maka yang lebih utama adalah dibatasi pada dalil qath’iy tanpa dalil zhanniy. Atas dasar itu maka yang lebih afdhal adalah dikoreksi. Dan kami akan mengoreksinya insya’a Allah, selesai. Koreksi itu telah dinyatakan di cetakan terbaru tertanggal 16/07/2019 halaman 322 di dua tempat Tetapi ketika saya menyelesaikan topik tersebut, saya ditantang oleh beberapa kalimat yang sulit saya pahami, dan saya tidak bisa mempertemukan antara hal itu dengan apa yang ada di koreksi yang baru, sebagai berikut Halaman 323, hadits-hadits ini semuanya merupakan dalil syara’ bahwa qiyas merupakan hujjah. Aspek berargumentasi dengannya bahwa Rasul saw mengaitkan utang yang menjadi hak Allah dengan utang adami dalam hal wajibnya dibayar dan menfaatnya. Dan itu adalah qiyas.. Halaman 325, hadits-hadits ini tidak diketahui adanya orang yang mengingkarinya dan perkara itu masyhur di antara para sahabat padahal itu termasuk perkara yang harus diingkari. Jadi diamnya mereka terhadapnya sementara itu termasuk perkara yang mereka tidak akan diam atasnya, maka merupakan ijmak atas keberadaan qiyas merupakan hujjah syar’iyah. Halaman 326, dari hal itu menjadi jelas bahwa hadits, ijmak sahabat dan penetapan illat oleh Rasul saw untuk banyak hukum merupakan dalil bahwa qiyas merupakan dalil syar’iy dari dalil-dalil yang menjadi hujjah bahwa hukum yang diistinbath dengannya merupakan hukum syara’ … Atas hal itu dalil-dalil ini tidak menjadi hujjah atas qiyas secara mutlak tetapi merupakan hujjah atas qiyas yang illat di dalamnya telah ditunjukkan oleh dalil syara’. Dan ini merupakan qiyas yang muktabar secara syar’iy. Tampak bagi saya, seolah tiga topik ini kontradiksi dengan dua tempat yang ditunjukkan di atas. Saya mohon kesediaan Anda menjelaskan apa yang jadi masalah bagi saya itu. Kedua dinyatakan di buku Bahru al-Muhîth karya az-Zarkasyi -kitab al-qiyas – bab ketiga tentang wajibnya mengamalkan qiyas yang kedua apakah dalalah sam’iy atasnya bersifat qath’iy atau zhanniy? Mayoritas mengatakan yang pertama -yakni qath’iy-. Dan Abu al-Husain dan al-Amidi berpendapat yang kedua -yakni zhanniy -, selesai. Az-Zarkasyi juga berbicara di tempat lainnya, ketiga, ijmak shahabat mereka sepakat mengamalkan qiyas. Dan telah dinukilkan hal itu dari mereka baik ucapan dan perbuatan. Ibnu Aqil al-Hanbali berkata “telah mencapai tawatur maknawi dari para shahabat tentang penggunaan qiyas, dan itu qath’iy, selesai. Apakah mungkin, dalil sam’iy zhanniy telah mencapai batas tawatur maknawi dan menjadi dalil qath’iy atas kehujahan qiyas? Ketiga dinyatakan di buku asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah juz III halaman 323, hadits-hadits ini semuanya merupakan dalil bahwa qiyas merupakan hujjah. Dan aspek berargumentasi dengannya, bahwa Rasul saw mengaitkan utang yang menjadi hak Allah dengan utang adami dalam wajibnya dilunasi dan manfaatnya, dan itu merupakan qiyas.. 1. Apakah qiyas yang dilakukan oleh Rasul saw yang dinyatakan di paragraf itu adalah dalam makna bahasanya untuk mendekatkan potret dan memudahkan pemahaman untuk orang yang mendengar ataukah itu dengan makna istilahnya dan berlaku atasnya definisi yang dinyatakan di buku asy-Syakhshiyyah juz III halaman 321, qiyas didefinisikan adalah menetapkan semisal hukum yang sudah diketahui pada sesuatu yang sudah diketahui lainnya dikarenakan kebersamaannya dalam illat hukum menurut orang yang menetapkan? 2. Apakah illat keputusan tersebut yaitu keberadaannya sebagai utang, yang dipahami dari nash-nash yang diqiyaskan terhadapnya, misalnya seseorang melunasi utang orang tuanya yang telah meninggal yang meninggalkan shalat semua waktu wajib yang dilakukan orang tuanya semasa hidup, dengan mengqiyaskan atas penunaian haji karena kesamaan dalam illat keberadaannya sebagai utang seraya memperhatikan bahwa ibadah tidak disertai illat? 3. Kenapa penunaian haji oleh anak atas nama orang tuanya yang tidak mampu, disebut pelunasan dan haji dianggap utang yang menjadi hak Allah, padahal sudah diketahui bersama bahwa haji itu bergantung pada kemampuan? Keempat dinyatakan di buku asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah juz III halaman 336 tentang syarat-syarat cabang al-far’u, keempat hukum cabang itu hendaklah tidak dinyatakan oleh nash, dan jika tidak maka di situ berarti ada qiyas sesuatu yang sudah dinyatakan. Padahal yang satu diqiyaskan kepada yang lain tidak lebih utama dari sebaliknya. Tidak dikatakan bahwa kemiripan dalil-dalil atas konotasi yang sama adalah boleh. Sebab ini tidak lain ada pada selain qiyas. Seperti suatu hukum ditetapkan dengan al-Kitab, as-Sunnah dan Ijmak Shahabat. Adapun qiyas maka illat ditetapkan di situ dan jangkauannya ke hukum cabang adalah yang menjadikan qiyas itu ada. Jadi jika di situ ada nash atas hukum dalam cabang maka hukumnya ketika itu ditetapkan dengan nash bukan illat sehingga tidak ada ruang untuk qiyas, selesai. Lalu bagaimana qiyas itu berasal dari Rasul saw, padahal sudah diketahui bahwa apa saja yang bersumber dari Rasul saw dinilai sebagai nash syar’iy yang menafikan qiyas? Hal itu seperti diisyaratkan oleh imam asy-Syaukani di bukunya Irsyâd al-Fuhûl menjawab atas orang yang menilai hadits-hadits sebagai dalil atas kehujjahan qiyas, hal itu dijawab bahwa berbagai pengqiyasan ini bersumber dari asy-Syâri’ yang ma’shum, yang Allah SWT mengfirmankan dalam wahyu yang Rasul saw bawa إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوْحَى “Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya” TQS an-Najm [53] 4. Dan tentang wajibnya mengikuti Beliau, Allah SWT berfirman وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah” TQS al-Hasyr [59] 7. Dan hal itu keluar dari obyek perselisihan. Qiyas yang ada dalam ucapan kami adalah qiyas orang yang tidak ma’shum, tidak wajib mengikutinya dan ucapannya bukan wahyu, tetapi amarah itu dari dirinya sendiri dan dengan akalnya yang bisa salah. Dan kami telah bahas sebelumnya bahwa telah terjadi kesepakatan atas tegaknya hujjah dengan qiyas-qiyas yang bersumber dari Rasul saw, selesai. Kelima dinyatakan di buku asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah juz III halaman 335, penggunaan qiyas memerlukan pemahaman yang dalam. Tidak boleh qiyas untuk mengistinbath hukum kecuali untuk mujtahid, meski dia mujtahid mas’alah. Lalu bagaimana kita menisbatkan qiyas kepada Rasul saw padahal pada diri Rasul tidak boleh menjadi seorang mujtahid? Ya Allah, ajarkan kepada kami apa yang bermanfaat bagi kami dan berilah manfaat kepada kami dengan apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnya Engkau maha mengetahui lagi maha bijaksana. Dan seruan akhir kami bahwa segala puji milik Allah Rabb semesta alam. Jawab Wa’alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu. Di awal, semoga Allah melimpahkan keberkahan pada Anda atas doa Anda yang baik untuk kami, dan demikian juga kami mendoakan kebaikan untuk Anda … Sungguh, Anda wahai saudaraku memperbanyak pertanyaan sekaligus. Tampaknya yang lebih afdhal Anda mencukupkan dengan satu pertanyaan. Jika kami menjawabnya maka bisa diikuti dengan pertanyaan lainnya, bukannya Anda kirimkan tujuh pertanyaan sekaligus … Meski demikian, kami berpandangan menjawabnya sebab itu berkaitan dengan buku dan tsaqafah kita … Tetapi ke depan, jangan Anda kirim sejumlah pertanyaan sekaligus. Ringankanlah dari kami, semoga Allah merahmati Anda. 1. Berkaitan dengan pertanyaan pertama Anda seputar tiga tempat di buku asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah juz III Benar, kami melakukan koreksi di buku asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah juz III dalam pembahasan qiyas berdasarkan apa yang ada di Jawab Soal tertanggal 7 Rabi’ul Akhir 1435 bertepatan 07 Februari 2014 …Tetapi kami memperhatikan melakukan koreksi itu dengan menjadikan pembahasan tersebut terbagi menjadi dua – Bagian pertama, berkaitan dengan dalil-dalil penetapan qiyas, maka di situ kami batasi perkaranya pada dalil qath’iy dan tidak kami gabungkan dalil-dalil zhanniy. – Bagian kedua berkaitan dengan petunjuk arahan kepada qiyas dan penjelasan realitanya. Bagian ini kami berdalil dengan dalil-dalil as-Sunnah dan Ijmak dan kami tidak membatasi perkara di situ dengan dalil-dalil qath’iy saja sebab itu tidak dalam konteks penetapan keberadaan qiyas sebagai dalil syar’iy yang mana sudah kami tetapkan hal itu di bagian pertama pembahasan … Tidak diragukan bahwa dalil-dalil yang telah kami sampaikan di bagian kedua pembahasan bahwa as-Sunnah dan Ijmak merupakan dalil zhanniy yang menjelaskan realita qiyas. Tetapi itu bukan dalil qath’iy atas kehujahan qiyas. Ini tidak masalah, sebab kami tidak berdalil dengannya dalam konteks penetapan kehujahan qiyas seperti yang disebutkan di atas, tetapi dalam konteks lainnya yaitu arahan petunjuk kepada qiyas dan penjelasan realitanya … Dan untuk lebih menjelaskan perkara tersebut saya kutipkan topik yang diperlukan dari nash terdahulu dari buku asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah juz III sebelum dilakukan koreksi kemudian topik penggantinya dari teks baru setelah koreksi a. Teks sebelum dikoreksi dan qiyas merupakan dalil syar’iy atas hukum syara’. Qiyas merupakan hujjah untuk menetapkan bahwa suatu hukum merupakan hukum syara’. Telah dibuktikan keberadaan qiyas sebagai dalil syar’iy dengan dalil qath’iy dan dalil-dalil zhanniy. Adapun dalil qath’iy adalah bahwa posisi penilaian qiyas sebagai dail syar’iy tidak lain dalam kondisi yang di situ qiyas dikembalikan kepada nash itu sendiri … Adapun dalil-dalil zhanniy maka itu adalah dalil-dalil atas qiyas dan dalil-dalil atas jenis qiyas yang merupakan dalil syar’iy. Telah dibuktikan keberadaan qiyas sebagai hujjah dengan as-Sunnah dan Ijmak Shahabat. Telah dibuktikan bahwa Rasul saw menunjukkan kepada qiyas dan beliau menyetujui qiyas. Dari Ibnu Abbas …., selesai. b. Teks setelah koreksi dan qiyas merupakan dalil syar’iy atas hukum syara’. Qiyas merupakan hujjah untuk menetapkan bahwa suatu hukum merupakan hukum syara’. Telah dibuktikan keberadaan qiyas sebagai dalil syar’iy dengan dalil qath’iy. Yaitu bahwa posisi penilaian qiyas sebagai dail syar’iy tidak lain dalam kondisi yang di situ qiyas dikembalikan kepada nash itu sendiri … Rasulullah saw telah menunjukkan kepada qiyas dan beliau menyetujui qiyas. Dari Ibnu Abbas …., selesai. Sebagaimana hal yang sudah jelas dari koreksi, kami di paragraf pertama ketika menetapkan qiyas sebagai hujjah ushuliyah, kami membatasi pada dalil qath’iy dan kami tidak masuk ke dalil-dalil zhanniy … Adapun di awal paragraf kedua yang sebelum koreksi terkait kelanjutan untuk dalil-dalil penetapan qiyas, kami melakukan koreksi dalam bentuk kami jadikan sebagai topik lain, bukan penetapan bahwa qiyas merupakan salah satu ushul. Tetapi kami menjadikannya seputar petunjuk kepada qiyas dan seputar penjelasan realitanya … Dan ini di dalamnya cukup dengan dalil-dalil zhanniy yang kami sampaikan dari as-Sunnah dan Ijmak Shahabat … Oleh karena itu, tidak ada keperluan untuk mengoreksi tiga tempat yang Anda isyaratkan sebab itu tidak dalam konteks penetapan qiyas sebagai salah satu ushul, melainkan dalam konteks lain sebagaimana yang telah kami jelaskan di atas yaitu petunjuk kepada qiyas dan penjelasan realitanya … Mungkin yang jadi masalah bagi Anda, hadits-hadits yang kami nyatakan setelah hal itu yang di dalamnya ada dalalah konotasi atas qiyas, dan kami katakan hadits-hadits ini semuanya merupakan dalil bahwa qiyas merupakan hujjah. Aspek berargumentasi dengannya, bahwa Rasul saw mengaitkan utang yang merupakan hak Allah dengan utang adami dalam wajibnya pelunasan dan menfaatnya, dan itu merupakan qiyas. Tidak ada masalah dalam hal itu. Selama kami telah sampaikan dalil qath’iy atas qiyas maka ini tidak menghalangi penyebutan dalil-dalil lainnya yang bersifat zhanniy tentangnya yang digunakan berhujjah atas qiyas … Dan kami ketika memasukkan koreksi maka itu dari sisi yang pertama-tama pemfokusan terhadap keqath’ian dalil atas qiyas dan bukan sebagai pengingkaran adanya dalil-dalil zhanniy … 2. Berkaitan dengan pertanyaan kedua seputar keberadaan dalil-dalil sam’iyah mutawatir maknawi Tidak dijauhkan, keberadaan dalil-dalil atas qiyas itu berasal dari as-Sunnah dan Ijmak Shahabat. Tidak dijauhkan, kenyataan karena banyak dan beragamnya maka telah sampai batas tawatur maknawi sebagaimana yang dibicarakan oleh imam az-Zarkasyi di Bahru al-Muhîth sesuai yang Anda kutip di pertanyaan Anda … Tetapi kami tidak merujuk kepada istidlal ini di dalam penetapan kehujjahan qiyas sebab perkara tersebut diperselisihkan oleh orang yang berpendapat berbeda … Dan karena dalil qath’iy yang kita sampaikan dalam penetapan qiyas merupakan dalil qath’iy yang jelas cukup untuk menetapkan kehujjahan qiyas dan menyulitkan orang yang berpendapat berbeda untuk membantahnya …. 3. Berkaitan dengan pertanyaan ketiga Anda dan pertanyaan Anda yang keenam dan ketujuh, semuanya dalam bab yang sama Rasul saw memberi petunjuk kepada qiyas dan tidak melakukan qiyas. Sebab Nabi saw mengetahui hukum syara’ dari wahyu dan bukan dengan ijtihad dari beliau sendiri. Nabi saw tidak boleh menjadi seorang mujtahid sebagaimana yang telah dijelaskan di topiknya … Contoh-contoh yang kami sampaikan dari as-Sunnah semuanya itu di dalamnya ada petunjuk dari Nabi saw untuk qiyas dan bagaimana penggunaannya. Dan ini dari sisi pengajaran untuk kaum Muslim … Tetapi itu tidak berarti bahwa Nabi saw melakukan qiyas sebab buah qiyas adalah sampai kepada hukum syara’ yang tidak diketahui oleh mujtahid, sementara Rasul saw mengetahui hukum syara’ dari wahyu sehingga tidak memerlukan qiyas dan tidak pula ijtihad untuk mengetahui hukum syara’ … Saya telah menjelaskan perkara ini di buku saya Taysîr al-Wushûl ilâ al-Ushûl secara penuh ketika membicarakan kehujjahan qiyas sebagai berikut [Rasul saw telah memberi petunjuk kepada penggunaan qiyas. Beliau saw ketika ditanya tentang penunaian haji dan ciuman orang yang berpuasa, beliau tidak memberikan hukum kepada penanya secara langsung, tetapi beliau menjawabnya setelah menyampaikan illat yang menghimpun dalam penunaian utang adami dan berkumur, memberi petunjuk kepada kaum Muslim kepada penggunaan qiyas. Diriwayatkan dari Beliau saw bahwa seorang laki-laki dari Khats’am bertanya kepada Beliau إِنَّ أَبِي أَدْرَكَهُ الْإِسْلَامُ، وَهُوَ شَيْخٌ كَبِيرٌ لَا يَسْتَطِيعُ رُكُوبَ الرَّحْلِ، وَالْحَجُّ مَكْتُوبٌ عَلَيْهِ، أَفَأَحُجُّ عَنْهُ؟ قَالَ أَنْتَ أَكْبَرُ وَلَدِهِ؟» قَالَ نَعَمْ، قَالَ أَرَأَيْتَ لَوْ كَانَ عَلَى أَبِيكَ دَيْنٌ فَقَضَيْتَهُ عَنْهُ، أَكَانَ ذَلِكَ يُجْزِئُ عَنْهُ؟» قَالَ نَعَمْ، قَالَ فَاحْجُجْ عَنْهُ» Bapak saya masuk Islam dan ia seorang yang sudah lanjut usia tidak mampu menaiki kendaraan, sementara haji diwajibkan atasnya, apakah saya berhaji atas nama dia? Nabi saw bersabda “engkau anak tertuanya?” Dia berkata “benar”. Beliau saw bersabda “bagaimana pandanganmu seandainya bapaknya punya utang lalu engkau membayar utang itu menggantikannya, bukankah hal itu melunasinya?” Dia berkata “benar”. Beliau bersabda “berhajilah menggantikannya”. Dan dari Umar, ia berkata هَشِشْتُ يَوْماً فَقَبَّلْتُ وَأَنا صائِمٌ، فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ ﷺ فَقُلْتُ صَنَعْتُ الْيَوْمَ أَمْراً عَظِيماً! قَبَّلْتُ وَأَنا صائِمٌ. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ أَرَأَيْتَ لَوْ تَمَضْمَضْتَ بِمَاءٍ وَأَنْتَ صائِمٌ؟» قُلْتُ لا بَأْسَ. فَقالَ ﷺ فَفِيمَ؟» “Saya merasa gembira pada suatu hari lalu aku mencium isteriku sementara aku sedang berpuasa, lalu aku datang kepada Nabi saw dan aku katakan “hari ini aku melakukan satu perkara besar! Aku mencium isteriku padahal aku sedang berpuasa”. Maka Rasulullah saw bersabda “bagaimana pandanganmu andai engkau berkumur-kumur dengan air sementara engkau sedang berpuasa?” Aku katakan “tidak apa-apa”. Beliau saw bersabda “lalu kenapa?” Hanya saja hukum ini tidak berarti bahwa Rasul saw melakukan qiyas, tetapi Beliau saw memberikan hukum sebagai wahyu dari Allah SWT kepada Beliau, menggunakan redaksi yang memberi petunjuk kepada penggunaan qiyas. Sebab apa saja yang berasal dari Rasul saw baik ucapan, perbuatan atau persetujuan adalah wahyu dari Allah SWT sebagaimana yang telah kami jelaskan dalam pembahasan as-Sunnah sebelumnya selesai kutipan dari buku at-Taysîr. 4. Berkaitan dengan pertanyaan Anda yang keempat seputar qiyas shalat atas utang Qiyas yang diberi petunjuk kepadanya oleh hadits-hadits dalam topik haji, di situ ada dua perkara a. Pengqiyasan utang yang menjadi hak Allah SWT terhadap utang adami dalam wajibnya pelunasan dan manfaatnya. Artinya, bahwa ibadah yang belum ditunaikan oleh seseorang merupakan utang yang ada dalam tanggungannya yang harus dia tunaikan dan penunaiannya menggugurkan utang yang ada dalam tanggungannya itu, sama persis seperti wajibnya menunaikan utang adami yang ada dalam tanggungan dan pelunasannya menggugurkan utang yang ada dalam tanggungan itu … b. Penunaian seseorang atas utang yang menjadi hak Allah yang ada dalam tanggungannya akan menggugurkan utang ini darinya. Demikian juga penunaian oleh orang lain yakni oleh anak atas utang yang menjadi hak Allah yang ada dalam tanggungan seseorang akan menggugurkan utang tersebut dari orang itu padahal bukan orang itu sendiri yang menunaikannya. Hal itu sebagai pengqiyasan atas utang adami yang gugur dari seseorang dengan penunaiannya oleh orang lain … Dan dengan menerapkan hal itu atas topik shalat menjadi jelas sebagai berikut – Shalat yang ada dalam tanggungan seseorang yang belum dia tunaikan tanpa udzur syar’iy, dia wajib mengqadha’nya. Dan jika seseorang itu mengqadha’nya atas dirinya sendiri maka kewajiban shalat itu gugur darinya dengan qadha’ penunaian itu. Hal itu sebagai pengqiyasan terhadap utang adami yang wajib dilunasinya. Dan jika dia melunasinya maka utang itu gugur darinya dengan penunaian qadha’ itu. Dan qiyas ini benar, sebab selamat dari penghalang … Dan tentu saja, gugurnya utang yang menjadi hak Allah SWT dengan qadha’ shalat itu tidak berarti gugurnya dosa dari seseorang disebabkan penundaan shalat dan tidak ditunaikannya shalat itu pada waktunya, tetapi itu hanya berarti gugurnya utang yang ada dalam tanggungannya. Artinya dia tidak lagi dituntut menunaikan shalat yang ada dalam tanggungannya itu karena dia telah mengqadha’nya… Jadi masalah dosa disebabkan penundaan shalat dari waktunya adalah masalah lain … – Adapun pengqiyasan utang yang menjadi hak Allah utang kepada Allah terhadap utang adami dalam gugurnya utang dengan penunaiannya oleh orang lain yakni oleh anak terkait qadha’ anak atas shalat bapaknya, qiyas ini tidak selamat dari penghalang sehingga tidak lurus. Hal itu karena di antara syarat cabang yang diqiyaskan yaitu harus kosong dari penghalang yang rajih yang mengharuskan lawan dari apa yang diharuskan oleh illat qiyas agar qiyas itu berfaedah. Dan cabang di sini adalah shalat. Ada dalil-dalil tentang wajibnya seseorang menunaikan shalat atas dirinya sendiri; bahwa tidak gugur dari seseorang dengan penunaiannya oleh orang lain atas nama dia; dan penggantian dan perwakilan tidak diterima sebagaimana semua kewajiban ayniyah fardhu ain. Allah SWT berfirman وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى “dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya” TQS an-Najm [53] 39. Syara’ telah mewajibkan terhadap seorang muslim shalat dengan duduk jika dia tidak mampu berdiri, dan dengan isyarat jika dia tidak mampu selainnya, dan syara’ tidak boleh menjadikan seseorang untuk menggantikan posisinya di situ … Mafhum penunaiannya dalam keadaan-keadaan sakit parah ini berarti bahwa tidak boleh digantikan oleh orang lain. Oleh karena itu, qiyas shalat atas utang adami dari sisi gugurnya shalat itu dari seseorang dengan qadha’ oleh orang lain atas namanya, pengqiyasan ini tidak benar dan tidak lurus karena adanya dalil-dalil penghalang yang membatasi pelaksanaan kewajiban ini oleh seseorang itu sendiri tanpa dilakukan oleh orang lain. Jadi diamalkan dalil-dalil penghalang yang lebih rajih itu dan ditinggalkan apa yang diharuskan oleh qiyas sebagaimana yang telah ditetapkan di dalam ilmu ushul … Tidak dikatakan bahwa utang yang menjadi hak Allah SWT gugur dalam hal haji, puasa, zakat dan semacamnya dengan penunaian oleh orang lain atasnya sebagai qiyas atas utang adami, sehingga demikian pula gugur qadha’ shalat oleh orang lain sebagai qiyas atas utang adami … Tidak dikatakan demikian, sebab gugurnya haji, puasa, zakat … dsb, dengan qadha’ orang lain, hal itu tidak ditetapkan dengan qiyas, tetapi ditetapkan dengan nash atasnya dalam hadits-hadits nabi yang mulia yang memberi petunjuk kepada qiyas. Sehingga hanya terbatas pada apa yang dinyatakan oleh nash saja… Qadha’ orang lain dalam hal shalat, tidak ada sunnah dari Rasulullah saw sehingga tetap menurut asalnya berupa wajib penunaiannya dan qadha’nya oleh seseorang itu sendiri dan di dalamnya tidak bolehnya penggantian dan perwakilan … Jadi nash-nash yang dinyatakan dalam hal qadha’ shalat berkaitan dengan orang yang meluputkan shalat dan bukan orang lain. Di antaranya – Imam Muslim telah mengeluarkan di dalam Shahîhnya dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw bersabda مَنْ نَسِيَ الصَّلَاةَ فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا فَإِنَّ اللَّهَ قَالَ أَقِمْ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي» “Siapa yang melupakan pelaksanaan shalat maka hendaklah dia menunaikannya ketika dia mengingatnya sebab Allah SWT berfirman artinya “dirikanlah shalat untuk mengingkat Aku” TQS Thaha [20] 14. – Ibnu Abiy Syaibah telah mengeluarkan di Mushannafnya dari Anas, ia berkata “Nabi saw bersabda مَنْ نَسِيَ صَلَاةً أَوْ نَامَ عَنْهَا فَكَفَّارَتُهُ أَنْ يُصَلِّيَهَا إذَا ذَكَرَهَا» “Siapa saja yang lupa menunaikan shalat atau tidur dari melaksanakannya maka kafarahnya adalah dia menunaikannya ketika dia mengingatnya”. – Ad-Daraquthni telah mengeluarkan di Sunannya dari Bilal, ia berkata kami bersama Nabi saw dalam satu perjalanan فَنَامَ حَتَّى طَلَعَتِ الشَّمْسُ فَأَمَرَ بِلاَلاً فَأَذَّنَ ثُمَّ تَوَضَّأَ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ صَلَّوُا الْغَدَاةَ» “Lalu kami tidur sampai matahari sudah terbit maka Beliau memerintahkan Bilal mengumandangkan adzan kemudian beliau berwudhu dan shalat dua rakaat kemudian mereka pun menunaikan shalat segera”. Jelas dari nash-nash tersebut bahwa itu berkaitan dengan orang yang meluputkan shalat dan nash tidak menyatakan boleh untuk orang lain menunaikan shalat menggantikannya seperti anak menggantikan bapaknya. Oleh karena itu, qadha’ shalat tetap berkaitan dengan orang yang meluputkan shalat dari waktunya. 5. Berkaitan dengan pertanyaan Anda dan kenapa haji oleh anak atas nama bapaknya yang tidak mampu disebut qadha’ dan haji dianggap sebagai utang yang menjadi hak Allah padahal sudah diketahui bersama bahwa kewajiban haji itu bergantung dengan kemampuan? Jawaban hal itu bahwa, kami telah menjelaskan di asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah juz III pada bab Umûm al-Lafzhi fî Khushûsh as-Sabab -Keumuman Lafal Dalam Kekhususan Sebab- bahwa keumuman itu adalah dalam topik kejadian yang terjadi dan pertanyaan, dan bukan umum pada segala sesuatu. Kami katakan “sesungguhnya kemuman seruan dalam kejadian dan jawab soal tidak lain adalah dalam topik pertanyaan dan bukan umum mencakup segala sesuatu. Artinya adalah umum untuk topik di dalam kejadian tersebut dan yang lainnya … Atas dasar itu keumuman tersebut tidak lain adalah dalam topik itu, topik kejadian dan pertanyaan, jadi khusus dengannya dan tidak mencakup yang lainnya. Topik itu tidak masuk dalam kaedah al-ibrah bi umûm al-lafzhi lâ bi khushûsh as-sabab -patokannya menurut keumuman lafal tidak menurut kekhususan sebab-, karena topik itu bukan sebab, yakni bukan kejadian dan bukan pertanyaan itu, dan karena ucapan itu dinyatakan atasnya topik itu tidak terhadap selainnya sehingga menjadi khusus dengannya. Sebab lafal Rasul itu berkaitan dengan topik pertanyaan dan topik kejadian, sehingga hukum berkaitan dengan topik itu. Jadi nash yang dikatakan dalam kejadian tertentu dan nash yang merupakan jawaban pertanyaan, wajib dikhususkan dalam topik pertanyaan atau kejadian, dan tidak boleh menjadi bersifat umum pada segala sesuatu. Sebab pertanyaan itu diulangi di dalam jawaban dan karena ucapan itu dalam topik tertentu, sehingga wajib hukumnya dibatasi terhadap topik tersebut. Karena lafal Rasul yang di dalamnya beliau menjelaskan hukum pertanyaan atau kejadian adalah berkaitan dengan pertanyaan itu saja dan kejadian itu saja, bukan berkaitan dengan yang lainnya sama sekali. Jadi hukum tersebut berkaitan dengan topik pertanyaan dan topik kejadian, yakni perkara yang ditanyakan atau yang tentangnya berlangsung kejadian, bukan berkaitan dengan yang lainnya, sehingga tidak berlaku umum mencakup selain topik tersebut, tetapi menjadi bersifat khusus dengan topik itu … Jadi keumuman lafal itu dalam kekhususan sebab bukan umum pada segala sesuatu. Tetapi dia bersifat umum dalam topik yang berlangsung kejadian tentangnya atau berlangsung pertanyaan tentangnya. Di sini, topik yang ditanyakan di dalam hadits tersebut adalah haji anak yang mampu atas nama bapaknya yang tidak mampu, bukan yang lain. Jadi keumumannya tetap pada haji anak atas nama bapaknya, jika si anak mampu dan bapak tidak mampu. Jadi anak berhaji atas nama bapaknya, hingga meskipun haji itu tidak wajib bagi bapak yang tidak mampu. Sementara selain masalah ini maka harus ada dalil lainnya … Kami telah menjawab semisal pertanyaan ini pada 4 Rajab 1434 H/14 Mei 2013. Dinyatakan di dalam Jawab Soal itu sebagai berikut … berkaitan dengan hadits yang Anda sebutkan dari Yusuf bin az-Zubair dari Abdullah bin az-Zubair, dia berkata “seorang laki-laki dari Khats’am datang kepada Rasulullah saw lalu berkata إِنَّ أَبِي شَيْخٌ كَبِيرٌ، لَا يَسْتَطِيعُ الرُّكُوبَ، وَأَدْرَكَتْهُ فَرِيضَةُ اللَّهِ فِي الْحَجِّ، فَهَلْ يُجْزِئُ أَنْ أَحُجَّ عَنْهُ؟ قَالَ آنْتَ أَكْبَرُ وَلَدِهِ؟» قَالَ نَعَمْ، قَالَ أَرَأَيْتَ لَوْ كَانَ عَلَيْهِ دَيْنٌ أَكُنْتَ تَقْضِيهِ؟» قَالَ نَعَمْ، قَالَ فَحُجَّ عَنْهُ» “Bapak saya seorang yang sudah lanjut usia, dia tidak mampu naik hewan tunggangan, sementara kewajiban Allah dalam haji menghampiri dia, apakah berpahala saya berhaji menggantikannya?” Beliau bersabda “engkau anak laki-laki tertuanya?” Dia berkata “benar”. Beliau bersabda “bagaimana pandanganmu, seandainya bapakmu punya kewajiban utang, apakah engkau membayarnya?” Dia berkata “benar”. Beliau bersabda “berhajilah menggantikannya”. An-Nasai telah mengeluarkan, dan Yusuf bin az-Zubair menyendiri dalam menyebutkan kalimat “anta akbaru waladihi -engkau anak tertuanya-“. Oleh karena itu sebagian pentahqiq mengatakan tentangnya ada masalah disebabkan perkara ini. Adapun hadits lainnya maka shahih menurut jumhur pentahqiq, Di situ ada orang yang menshahihkannya hingga dengan lafal “akbaru waladihi -anak tertuanya-“. Meski demikian, hadits tersebut diriwayatkan tanpa penyebutan “akbaru waladihi -anak tertuanya-“ dari Ibnu Abbas Ibnu Hibban telah mengeluarkan di Shahîhnya dari Sulaiman bin Yasar, ia berkata telah menceritakan kepadaku Abdullah bin Abbas bahwa ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah saw, ia berkata “ya Rasulullah, bapakku masuk Islam dan dia sudah lanjut usia, dan jika saya kencangkan beliau di atas hewan tunggangan, saya khawatir akan membunuhnya, sementara jika tidak saya kencangkan dia, dia tidak bisa kuat di atas hewan tunggangan, apakah saya berhaji menggantikannya?” Rasulullah saw bersabda أَرَأَيْتَ لَوَ كَانَ عَلَى أَبِيكَ دَيْنٌ فَقَضَيْتَهُ عَنْهُ أَكَانَ يُجْزِئُ عَنْهُ؟» قَالَ نَعَمْ، قَالَ فَاحْجُجْ عَنْ أَبِيكَ» “Bagaimana pandanganmu seandainya bapakmu punya kewajiban utang lalu engkau membayarnya menggantikan dia, apakah akan melunasinya?” Dia berkata “benar”. Rasulullah bersabda “berhajilah menggantikan bapakmu”. Para fukaha berbicara tentang hadits tersebut dengan memperhatikan bahwa Allah SWT menjadikan kewajiban haji bergantung kepada kemampuan. وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah” TQS Ali Imran [3] 97. Sebagian fukaha menjadikan hadits orang yang lanjut usia itu khusus untuk si penanya itu dan tidak untuk yang lain sehingga hadits tersebut tidak kontradiksi dengan kemampuan yang disebutkan di dalam ayat tersebut. Adapun keadaan yang lain maka tidak wajib bagi anak untuk berhaji atas nama bapaknya yang tidak mampu kecuali dari sisi birr al-walidayn berbakti kepada kedua orang tua-, dengan memperhatikan bahwa hukum itu khusus untuk si penanya itu, semisal hukum khusus untuk Abu Burdah dalam berkurban kambing umur enam bulan al-mâ’iz al-jadza’ah yang dikeluarkan oleh imam al-Bukhari dari al-Bara’ bin Azib ra, ia berkata … maka Abu Burdah bin Niyar, pamannya al-Bara’ berkata “ya Rasulullah saya punya anak kambung betina anâqa, saya punya jadza’ah anak kambing umur enam bulan yang lebih saya sukai di antara dua ekor itu, apakah berpahala dariku?”. Rasul bersabda نَعَمْ وَلَنْ تَجْزِيَ عَنْ أَحَدٍ بَعْدَكَ» “Benar dan tidak akan berpahala dari seorangpun sesudahmu”. Jadza’ah dari ma’iz tidak berpahala tidak boleh dalam kurban, tetapi khusus untuk Abu Burdah itu berpahala boleh. Yang saya rajihkan adalah mempertemukan di antara hadits dan ayat sebelum berpendapat kepada kekhususan sebab hukum asalnya bahwa hukum itu diserukan kepada orang-orang dan salah satunya tidak dialihkan kepada khusus kecuali jika ada nash dalam hal itu semisal kondisi Abu Burdah. Sabda Rasul saw kepadanya نَعَمْ وَلَنْ تَجْزِيَ عَنْ أَحَدٍ بَعْدَكَ» “Benar dan tidak akan berpahala dari seorangpun sesudahmu”. Dan jika tidak, maka jika terhalang dipertemukan maka dialihkan kepada kekhususan …. Dan di sini tidak ada nash yang menyatakan khusus. Demikian juga tidak terhalang dipertemukan. Maka mungkin dipertemukan antara ayat dan hadits tersebut bahwa haji tidak wajib kecuali bagi orang yang mampu dalam hal harta dan badan, dikecualikan dari hal itu satu kondisi anak bersama dengan bapaknya. Jika anak tersebut mampu sementara bapak tidak mampu maka wajib bagi si anak menunaikan haji menggantikan bapaknya sebab Rasul saw menilai haji menggantikan bapak dalam kondisi ini seperti utang yang wajib bagi si anak membayarnya menggantikan bapaknya … selesai kutipan dari Jawab Soal terdahulu. Artinya, hadits tersebut tidak khusus dengan person si penanya saja namun berlaku umum, akan tetapi umum pada topik pertanyaan saja yakni dalam kondisi anak yang mampu, dia melakukan haji menggantikan bapaknya yang tidak mampu … Ini yang saya rajihkan dalam masalah ini, wallâh a’lam wa ahkam. Saya berharap jawaban-jawaban di atas telah menghilangkan kerancuan dalam pemahaman, dengan izin Allah. Saudaramu Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah 14 Shafar al-Khayr 1442 H 01 Oktober 2020 M Continue Reading
KetuaTanfidziyah PCNU Yaman Muhammad Alam menjelaskan, seminar ini memilih tema ijma’ karena ijma’ merupakan salah satu dari dalil-dalil agama Islam yang disepakati faham ahlussunnah wal jama’ah (Aswaja). “Di samping itu saat ini sedang merebak faham anti madzhab di tanah air yang mengingkari wujud ijma’ dalam Islam.
IJMA' DAN QIYAS MERUPAKAN SUMBER HUKUM DI DALAM ISLAM YANG TIDAK BOLEH - Seribu tahun lebih para ulama telah bersepakat bahwa sumberhukum dalam Islam selain Al-Qur’an dan Hadits juga ada Ijma’ dan Qiyas. Namun semenjak kemunculan segolongan kaum yg dengan jargonnya kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah, telah terjadi pemangkasaan seakan Ijma’ dan Qiyas sdh tdk diperlukan nya adalah; Dari sekian banyak artikel yg mereka tuliskan , atau dari berbagai tausiah yg mereka sampaikan hampir tdk pernah mereka menyebutkan adanya Ijma’ dan Qiyas, namun mereka senantiasa menekankan agar ummat hanya kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits tersebut tampaknya memang sengaja mereka lakukan sebagai salah satu bagian dari usaha mereka untuk menjauhkan ummat islam dari kitab-kitab hasil karya para ulama yg mu’tabaroh , yg mana dari kitab-kitab tsb dalam mensarikan dari kandungan Al-Qur’an dan Hadits tidak terlepas adanya Ijma’ dan mensikapi fenomena tersebut, melalui status ini saya akan mencoba sedikit memaparkan tentang apa peran dan fungsi dari Ijma’ dan Qiyas yg sdh mulai ditinggal oleh HUKUM ISLAMKata-kata “Sumber Hukum Islam’ merupakan terjemahan dari lafazh Masâdir al-Ahkâm. Kata-kata tersebut tidak ditemukan dalam kitab-kitab hukum Islam yang ditulis oleh ulama-ulama fikih dan ushul fikih klasik. Untuk menjelaskan arti sumber hukum Islam’, mereka menggunakan al-adillah al-Syariyyah. Penggunaan mashâdir al-Ahkâm oleh ulama pada masa sekarang ini, tentu yang dimaksudkan adalah searti dengan istilah al-Adillah al-Syar’ dimaksud Masâdir al-Ahkâm adalah dalil-dalil hukum syara’ yang diambil diistimbathkan daripadanya untuk menemukan hukum’.Sumber hukum dalam Islam, ada yang disepakati muttafaq para ulama dan ada yang masih dipersilisihkan mukhtalaf. Adapun sumber hukum Islam yang disepakati jumhur ulama adalah Al Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Para Ulama juga sepakat dengan urutan dalil-dalil tersebut di atas Al Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas.$ads={1}Sedangkan sumber hukum Islam yang masih diperselisihkan di kalangan para ulama selain sumber hukum yang empat di atas adalah istihsân, maslahah mursalah, istishâb, uruf, madzhab as-Shahâbi, syar’u man demikian, sumber hukum Islam berjumlah sepuluh, empat sumber hukum yang disepakati dan enam sumber hukum yang diperselisihkan.[4] Wahbah al-Zuhaili menyebutkan tujuh sumber hukum yang diperselisihkan, enam sumber yang telah disebutkan di atas dan yang ketujuh adalah ad-dzara’ ulama menyebutkan enam sumber hukum yang masih diperselisihkan itu sebagai dalil hukum bukan sumber hukum, namun yang lainnya menyebutkan sebagai metode sumber hukum yang disepakati jumhur ulama yakni Al Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas, landasannya berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Shahabat Nabi Saw Muadz ibn Jabal ketika diutus ke مُعَاذِ بن جَبَلٍ، أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا بَعَثَهُ إِلَى الْيَمَنِ، قَالَ لَهُ”كَيْفَ تَقْضِي إِنْ عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ؟”، قَالَ أَقْضِي بِكِتَابِ اللَّهِ، قَالَ”فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي كِتَابِ اللَّهِ؟”قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ”فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟”قَالَ أَجْتَهِدُ رَأْيِي وَلا آلُو، قَالَ فَضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدْرَهُ، وَقَالَ”الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَا يُرْضِي رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ”“Dari Muadz ibn Jabal ra bahwa Nabi Saw ketika mengutusnya ke Yaman, Nabi bertanya “Bagaimana kamu jika dihadapkan permasalahan hukum? Ia berkata “Saya berhukum dengan kitab Allah”. Nabi berkata “Jika tidak terdapat dalam kitab Allah” ?, ia berkata “Saya berhukum dengan sunnah Rasulullah Saw”. Nabi berkata “Jika tidak terdapat dalam sunnah Rasul Saw” ? ia berkata “Saya akan berijtihad dan tidak berlebih dalam ijtihad”. Maka Rasul Saw memukul ke dada Muadz dan berkata “Segala puji bagi Allah yang telah sepakat dengan utusannya Muadz dengan apa yang diridhai Rasulullah Saw”.Baca juga - Amalan Agar Satu Rumah Menjadi Orang ShalihHal yang demikian dilakukan pula oleh Abu Bakar ra apabila terjadi kepada dirinya perselisihan, pertama ia merujuk kepada kitab Allah, jika ia temui hukumnya maka ia berhukum padanya. Jika tidak ditemui dalam kitab Allah dan ia mengetahui masalah itu dari Rasulullah Saw,, ia pun berhukum dengan sunnah Rasul. Jika ia ragu mendapati dalam sunnah Rasul Saw, ia kumpulkan para shahabat dan ia lakukan musyawarah. Kemudian ia sepakat dengan pendapat mereka lalu ia berhukum memutus permasalahan.[8] Karena itu, pembahasan ini sementara kami batasi dua macam sumber hukum saja yaitu ijma’ dan dalam pengertian bahasa memiliki dua arti. Pertama, berupaya tekad terhadap sesuatu. disebutkan أجمع فلان على الأمر berarti berupaya di firman Allah Swt“Karena itu bulatkanlah keputusanmu dan kumpulkanlah sekutu-sekutumu. kedua, berarti kesepakatan. Perbedaan arti yang pertama dengan yang kedua ini bahwa arti pertama berlaku untuk satu orang dan arti kedua lebih dari satu dalam istilah ahli ushul adalah kesepakatan semua para mujtahid dari kaum muslimin dalam suatu masa setelah wafat Rasul Saw atas hukum rukun ijma’ dalam definisi di atas adalah adanya kesepakatan para mujtahid kaum muslimin dalam suatu masa atas hukum syara’ .Kesepakatan’ itu dapat dikelompokan menjadi empat hal1. Tidak cukup ijma’ dikeluarkan oleh seorang mujtahid apabila keberadaanya hanya seorang mujtahid saja di suatu masa. Karena kesepakatan’ dilakukan lebih dari satu orang, pendapatnya disepakati antara satu dengan yang Adanya kesepakatan sesama para mujtahid atas hukum syara’ dalam suatu masalah, dengan melihat negeri, jenis dan kelompok mereka. Andai yang disepakati atas hukum syara’ hanya para mujtahid haramain, para mujtahid Irak saja, Hijaz saja, mujtahid ahlu Sunnah, Mujtahid ahli Syiah, maka secara syara’ kesepakatan khusus ini tidak disebut Ijma’. Karena ijma’ tidak terbentuk kecuali dengan kesepakatan umum dari seluruh mujtahid di dunia Islam dalam suatu Hendaknya kesepakatan mereka dimulai setiap pendapat salah seorang mereka dengan pendapat yang jelas apakah dengan dalam bentuk perkataan, fatwa atau Kesepakatan itu terwujudkan atas hukum kepada semua para mujtahid. Jika sebagian besar mereka sepakat maka tidak membatalkan kespekatan yang banyak’ secara ijma’ sekalipun jumlah yang berbeda sedikit dan jumlah yang sepakat lebih banyak maka tidak menjadikan kesepakatan yang banyak itu hujjah syar’i yang pasti dan MUJTAHIDMujtahid hendaknya sekurang-kurangnya memiliki tiga syaratSyarat pertama, memiliki pengetahuan sebagai berikutPertama. Memiliki pengetahuan tentang Al Qur’ Memiliki pengetahuan tentang Memiliki pengetahuan tentang masalah Ijma’ kedua, memiliki pengetahuan tentang ushul ketiga, Menguasai ilmu itu, al-Syatibi menambahkan syarat selain yang disebut di atas, yaitu memiliki pengetahuan tentang maqasid al-Syariah tujuan syariat. Oleh karena itu seorang mujtahid dituntut untuk memahami maqasid al-Syariah. Menurut Syatibi, seseorang tidak dapat mencapai tingkatan mujtahid kecuali menguasai dua halpertama, ia harus mampu memahami maqasid al-syariah secara sempurna,kedua ia harus memiliki kemampuan menarik kandungan hukum berdasarkan pengetahuan dan pemahamannya atas maqasid IJMA’Apabila rukun ijma’ yang empat hal di atas telah terpenuhi dengan menghitung seluruh permasalahan hukum pasca kematian Kanjeng Nabi Muhammad Saw dari seluruh mujtahid kaum muslimin walau dengan perbedaan negeri, jenis dan kelompok mereka yang diketahui hukumnya. Perihal ini, nampak setiap mujtahid mengemukakan pendapat hukumnya dengan jelas baik dengan perkataan maupun perbuatan baik secara kolompok maupun juga - Amalan Agar Satu Rumah Menjadi Orang ShalihSelanjutnya mereka mensepakati masalah hukum tersebut, kemudian hukum itu disepakati menjadi aturan syar’i yang wajib diikuti dan tidak mungkin menghindarinya. Lebih lanjut, para mujtahid tidak boleh menjadikan hukum masalah ini yang sudah disepakati garapan ijtihad, karena hukumnya sudah ditetapkan secara ijma’ dengan hukum syar’i yang qath’i dan tidak dapat dihapus dinasakh.QIYASQiyas menurut ulama ushul adalah menerangkan sesuatu yang tidak ada nashnya dalam Al Qur’an dan hadits dengan cara membandingkan dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Mereka juga membuat definisi lain, Qiyas adalah menyamakan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karena adanya persamaan illat demikian qiyas itu penerapan hukum analogi terhadap hukum sesuatu yang serupa karena prinsip persamaan illat akan melahirkan hukum yang sama hukum meminum khamar, nash hukumnya telah dijelaskan dalam Al Qur’an yaitu hukumnya haram. Sebagaimana firman Allah Swt“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya meminum khamar, berjudi, berkorban untuk berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. meminum khamr berdasar illat hukumnya adalah memabukan. Maka setiap minuman yang terdapat di dalamnya illat sama dengan khamar dalam hukumnya maka minuman tersebut adalah qiyas merupakan aktivitas akal, maka beberapa ulama berselisih faham dengan ulama jumhur. Pandangan ulama mengenai qiyas ini terbagi menjadi tiga kelompok1. Kelompok jumhur, mereka menggunakan qiyas sebagai dasar hukum terhadap hal-hal yang tidak jelas nashnya baik dalam Al Qur’an, hadits, pendapat shahabt maupun ijma Mazhab Zhahiriyah dan Syiah Imamiyah, mereka sama sekali tidak menggunakan qiyas. Mazhab Zhahiri tidak mengakui adalanya illat nash dan tidak berusaha mengetahui sasaran dan tujuan nash termasuk menyingkap alasan-alasannya guna menetapkan suatu kepastian hukum yang sesuai dengan illat. Sebaliknya, mereka menetapkan hukum hanya dari teks nash Kelompok yang lebih memperluas pemakaian qiyas, yang berusaha berbagai hal karena persamaan illat. Bahkan dalam kondisi dan masalah tertentu, kelompok ini menerapkan qiyas sebagai pentakhsih dari keumuman dalil Al Qur’an dan QIYASJumhur ulama kaum muslimin sepakat bahwa qiyas merupakan hujjah syar’i dan termasuk sumber hukum yang keempat dari sumber hukum yang lain. Apabila tidak terdapat hukum dalam suatu masalah baik dengan nash ataupun ijma’ dan yang kemudian ditetapkan hukumnya dengan cara analogi dengan persamaan illat maka berlakulah hukum qiyas dan selanjutnya menjadi hukum syar’ ayat Al Qur’an yang dijadikan dalil dasar hukum qiyas adalah firman Allah“Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli Kitab dari kampung-kampung mereka pada saat pengusiran yang pertama. kamu tidak menyangka, bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka dapat mempertahankan mereka dari siksa Allah; Maka Allah mendatangkan kepada mereka hukuman dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang mukmin. Maka ambillah Kejadian itu untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan. ayat di atas bahwasanya Allah Swt memerintahkan kepada kita untuk mengambil pelajaran’, kata I’tibar di sini berarti melewati, melampaui, memindahkan sesuatu kepada yang lainnya. Demikian pula arti qiyas yaitu melampaui suatu hukum dari pokok kepada cabang maka menjadi hukum yang diperintahkan. Hal yang diperintahkan ini mesti diamalkan. Karena dua kata tadi i’tibar dan qiyas’ memiliki pengertian melewati dan melampaui.“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah Al Quran dan Rasul sunnahnya, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya. di atas menjadi dasar hukum qiyas, sebab maksud dari ungkapan kembali kepada Allah dan Rasul’ dalam masalah khilafiyah, tiada lain adalah perintah supaya menyelidiki tanda-tanda kecenderungan, apa yang sesungguhnya yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya. Hal ini dapat diperoleh dengan mencari illat hukum, yang dinamakan diantara dalil sunnah mengenai qiyas ini berdasar pada hadits Muadz ibn Jabal, yakni ketetapan hukum yang dilakukan oleh Muadz ketika ditanya oleh Rasulullah Saw, diantaranya ijtihad yang mencakup di dalamnya qiyas, karena qiyas merupakan salah satu macam dalil yang ketiga mengenai qiyas adalah ijma’. Bahwasanya para shahabat Nabi Saw sering kali mengungkapkan kata qiyas’. Qiyas ini diamalkan tanpa seorang shahabat pun yang mengingkarinya. Di samping itu, perbuatan mereka secara ijma’ menunjukkan bahwa qiyas merupakan hujjah dan waji b bahwa Abu Bakar ra suatu kali ditanya tentang kalâlah’ kemudian ia berkata “Saya katakan pengertian kalâlah’ dengan pendapat saya, jika pendapat saya benar maka dari Allah, jika salah maka dari syetan. Yang dimaksud dengan kalâlah’ adalah tidak memiliki seorang bapak maupun anak”. Pendapat ini disebut dengan qiyas. Karena arti kalâlah sebenarnya pinggiran di jalan, kemudian dianalogikan tidak memiliki bapak dan yang keempat adalah dalil rasional. Pertama, bahwasanya Allah Swt mensyariatkan hukum tak lain adalah untuk kemaslahatan. Kemaslahatan manusia merupakan tujuan yang dimaksud dalam menciptakan hukum. Kedua, bahwa nash baik Al Qur’an maupun hadits jumlahnya terbatas dan final. Tetapi, permasalahan manusia lainnya tidak terbatas dan tidak pernah selesai. Mustahil jika nash-nash tadi saja yang menjadi sumber hukum syara’. Karenanya qiyas merupakan sumber hukum syara’ yang tetap berjalan dengan munculnya permasalahan-permasalahan yang baru. Yang kemudian qiyas menyingkap hukum syara’ dengan apa yang terjadi yang tentunya sesuai dengan syariat dan juga - Ijazah Mimpi Bertemu Rasulullah dari Habib Abdullah bin Abdul Qadir BilfaqihRUKUN QIYASQiyas memiliki rukun yang terdiri dari empat hal1. Asal pokok, yaitu apa yang terdapat dalam hukum nashnya. Disebut dengan al-maqis Fara’ cabang, yaitu sesuatu yang belum terdapat nash hukumnya, disebut pula Hukum al-asal, yaitu hukum syar’i yang terdapat dalam dalam nash dalam hukum asalnya. Yang kemudian menjadi ketetapan hukum untuk fara’.4. Illat, adalah sifat yang didasarkan atas hukum asal atau dasar qiyas yang dibangun sekilas tentang Ijma’ dan ada A’ Kyai Sumarsam, Katib PCNU Lubuklinggau, Sumatera SelatanDemikian artikel " Ijma' Dan Qiyas Merupakan Sumber Hukum Di Dalam Islam Yang Tidak Boleh Dihilangkan "Wallahu a'lam BishowabAllahuma sholii 'alaa sayyidina muhammad wa 'alaa aalihi wa shohbihi wa salim- Media Dakwah Ahlusunnah Wal Jama'ah -
Б иτ
Ома о шуφуւе
Цэκэቀօգуβ υг
ዥдαслեν гехаρግ իթեхоኤ
ሶሱул ε ж
Щег ши
Ιныпብηι ո ով трυпуζօց
ኙ յыձዪ деվе ሢяգуղሲպ
Сիзв գэፅуցоδеս
О ефож εሉυ
Sumbersumber Hukum dalam Islam. Oleh Coretanzone September 20, 2017 Posting Komentar. Islam merupakan agama yang sudah sempurna, sejak diturunkannya oleh Allah dan merupakan penyempurna bagi ajaran-ajaran yang dibawa oleh nabi-nabi sebelumnya. Islam juga merupakan agama yang sangat relevan dengan semua masa, karena islam
- Ijma' dan Qiyas merupakan dasar atau pokok hukum lain dalam agama Islam yang dijadikan sebagai rujukan dalam menetapkan hukum dan keputusan setelah Al-Qur'an dan berarti bahwa ijma' dan qiyas menjadi dasar/pokok hukum lain yang dapat dijadikan panduan dalam menjalankan kehidupan di dunia bagi umat jurnal "Aksioma Al-Musaqoh Journal of Islamic Economics and Business Studies" yang diterbitkan STAI La Tansa Mashiro Rangkasbitung disebutkan, ijma’ merupakan suatu proses mengumpulkan perkara dan memberi hukum atasnya serta menyakininya. Sementara qiyas, merupakan suatu proses mengukurkan sesuatu atas lainnya dan mempersamakannya. Namun Muhammadiyah, sebagai organisasi Islam di Indonesia tidak menjadikan ijma' dan qiyas sebagai sumber ajaran agama yang ajaran pokoknya hanyalah bersumber dari Al-Qur'an dan hadis saja. Namun ijma' dan qiyas hanya dijadikan sebagai proses bukan produk atau hanya sumber paratekstual, demikian diwartakan dan qiyas umumnya sering digunakan untuk menemukan solusi dari suatu permasalahan yang tidak ada di dalam Al-Qur'an dan Ijma' dan Qiyas Para ulama bersepakat bahwa ijma' terbagi menjadi dua jenis, yakni1. Ijma' QauliIjma' qauli adalah ijma' di mana para ulama mengeluarkan pendapatnya secara lisan maupun tertulis mengenai persetujuannya atas pendapat yang dikemukakan oleh ijtihad lain. 2. Ijma' SukutiJenis kedua adalah ijma' sukuti, yakni ijma' yang terjadi ketika para ulama memutuskan untuk diam di mana diamnya para ulama atau ahli ijtihad ini dianggap menyetujui pendapat yang dikemukakan oleh ahli ijtihad lainnya. Beberapa contoh ijma' di antaranya Diadakan azan dan iqamah sebanyak dua kali pada salat Jumat. Ketentuan ini mulai diterapkan pada masa kepemimpinan Ustman bin Affan. Keputusan membukukan Al-Qur'an, yang dilakukan pada masa kepemimpinan Abu Bakar As Shidiq. Diharamkannya minyak babi sesuai kesepakatan para ulama. Menjadikan as-sunnah sebagai sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-Qur'an. Sementara qiyas terdiri dari 3 jenis. Berikut penjelasannya1. Qiyas Illat Qiyas illat menentukan suatu hukum untuk dapat direntangkan, dibandingkan atau diukur kepada masalah yang lain, sehingga para ulama secara mutlak akan sepakat mengenai hukum dari sesuatu yang telah dibandingkan tersebut. Misalnya saja hukum mengenai minuman anggur, di mana buah anggur merupakan makanan yang halal, namun saat anggur dibuat menjadi minuman, maka ia menjadi haram, karena minuman anggur mengandung alkohol yang memberikan efek memabukkan bagi orang yang Qiyas Dalalah Qiyas dalalah adalah jenis qiyas yang memperlihatkan kepada hukum yang didasarkan sesuai dengan dalil illat. Contoh dari qiyas jenis ini adalah ketika mengqiyaskan air nabeez dengan arak, yang pada baik nabeez maupun arak adalah sama-sama mengeluarkan bau yang terdapat pada minuman memabukkan. 3. Qiyas ShabahQiyas shabah adalah qiyas yang mempertemukan antara cabang dengan pokok persoalan hanya untuk adalah mengusap atau menyapu kepala anak berulang-ulang, di mana tindkan ini kemudian dibandingkan dengan menyapu lantai memakai juga Pengertian Muamalah, Contoh, dan Macam-Macamnya dalam Agama Islam Arti Ma'rifatullah Istilah dalam Islam & Berhubungan dengan Takwa - Sosial Budaya Penulis Dhita KoesnoEditor Addi M Idhom
Skripsiini adalah hasil penelitian kepustakaan untuk menjawab pertanyaan : (1) bagaimana pendapat Muhammad Syah}rur tentang wasiat? (2) bagaimana pendapat jumhur ulama tentang wasiat? (3) bagaimana analisis komparasi pemikiran Muh}ammad Syah}rur dan jumhur ulama tentang wasiat? Teknik penggalian data pada tulisan ini menggunakan teknik deskriptif
Bila sobat sedang perlu solusi dari pertanyaan “apa perbedaan ijma dan qiyas”, maka teman-teman sudah berada di tempat yang benar. Disini tersedia beberapa solusi mengenai soal tadi. Yuk baca lebih lanjut. —————— Pertanyaan apa perbedaan ijma dan qiyas Jawaban 1 untuk Pertanyaan apa perbedaan ijma dan qiyas Soal Apa perbedaan ijma dan qiyas —————————- Jawaban PENDAHULUAN Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh Halo adik-adik para pejuang pencari ilmu, bagaimana kabarnya ?. kali ini Insha Allah kakak akan membantu menjawab pertanyaan adik-adik diatas yaitu “Apa perbedaan ijma dan qiyas ” . yuk langsung saja kita bahas. PEMBAHASAN Islam merupakan agama yang sempurna, satu-satunya agama yang didalamnya terdapat berbagai macam penjelasan mengenai cara menjalani kehidupan. baik itu hukum keluarga, muamalat perdata , jinayat pidana , murafaat acara , ketatanegaraan, hukum ekonomi, keuangan, bahkan hubungan antar bangsa. Tidak adasatupun permasalah yang terjadi dalam kehidupan ini tanpa adanya hukum yang mengatur dalam islam. maka para ulama berpendapat bahwa ada 4 sumber-sumber hukum yang digunakan di dalam islam, yaitu Al Quran, as Sunnah hadist , Ijma dan qiyas . ijma dan qiyas termasuk dalam sumber- sumber hukum islam. Ijma, yaitu sebuah kesepakatan ulama mengeanai suatu perkara bila tidak ditemukan hukumnya yang jelas dalam AL quran dan hadist. Ulama sampaikan arti ijma adalah “Kebulatan pendapat semua ahli ijtihad umat Muham-mad, sesudah wafatnya pada suatu masa, tentang suatu perkara hukum.” Ijma dapat dibagi dua, yaitu ijma Qauli dan ijma sukuti. Ijma Qauli adalah dimana para ulama berijtihad dengan menetapkan suatu hukum dengan lisannya maupun tulisan yang menjelaskan tentaang persetujuan akan suatu perkara. Kemudian ijma sukuti adalah diamnya ulama terhapap suatu perkara yang telah ditentukan hukumnya oleh mutjahid lainnya. Karena persetujuan. Urutan penentuan hukum melalui ijma adalah sebagai berikut a. Khulafaur Rasyidin 4 pemimpin pertama islam , bila tidak ada maka b. Pendapat imam madzab sekarang hanya ada 4 yaitu imam syafi’i, maliki, hanbai, hanafi, bila tidak ada c. Hasil dari ijma ulama yang mutawatir , atau umum digunakan yang sebagian besar ulama diseluruh dunia menyetujuinya. Jangan gunakan pendapat ahad , atau hanya disetujui satu orang ulama. Contoh penyelesaian dengan ijma adalah penentuan sholat tarawih dalam satu jamaah pada zaman sayiddina umar, dan pembukuan Al quran yang dimulai pada zama sayiidina abu bakar. Qiyas , yaitu penentuan suatu hukum yang belum ada ketentuan hukumnya baik dari Al Quran, Hadist maupun ijma. Dengan cara membandingkan atau mengibaratkan dengan suatu hukum yang telah ada , yang ada persamaan didalamnya. Contoh qiyas adalah pengharaman segala sesuatu yang memabukkan, hukum asalnya adalah ALLAH melarang meminum khamar karena memabukkan, kemudian kita mengambil qiyas untuk memberi hukum haram pada segala hal lain selain khamar yang dapat memabakkan. Yaitu sabu, ganja, pil koplo, dan narkoba jenis lainnya. KESIMPULAN Perbedaan ijma dan qiyas adalah 1. Ijma lebih diutamakan dari Qiyas. Bila bisa diselesaikan dengan ijma maka tidak perlu melakukan qiyas 2. Ijma adalah hasil pemikiran ulama mutjahid dalam penetuan suatu hukum yang diambil dari hasil meneliti AL Quran dan Hadist, sedangkan qiyas adalah pengibaratan yang dilakukan untuk menyelesaikan perkara yang belum pernah ada, yang kemudian dicarikan persamaannya dengan perkara yang jelas hukumnya. PELAJARI LEBIH LANJUT Demikian jawaban kakak, semoga dapat membantu, nah adik-adik untuk soal-soal perkara agama lain, adik-adik bisa cek link dibawah ini yaa. Insha ALLAH jawaban-jawabannya khair karena sudah terverifikasi oleh team brainly . cekidot ! Hikmah dan kandungan surah al-a’raf ayat 98 Sebutkan sumber sumber hukum islam dan jelaskan 1 per 1 Sebutkan 15 hal-hal yg harus saya contoh dari Rasulullah. Yg baiknya saja ya. Itu ngambil jwbannya dari foto ya Bantu dong bsk di kumpulkan bantu ya pliss mks bnyk kak Oke adik adik Semangat! Jangan lupa jadikan jawaban TERBAIK ! optitimcompetition ……………………………………………………………………………………………………………………………………… DETAIL JAWABAN Kelas XI Pelajaran Agama Kategori BAB 1 – Al Quran sebagai pedoman hidup Kata Kunci sumber hukum dalam islam. Ijma dan qiyas Kode —————— Sekian jawaban mengenai apa perbedaan ijma dan qiyas, mimin harap dengan jawaban tadi bisa membantu menjawab pertanyaan kamu. Bila kamu masih memiliki pertanyaan lain, silahkan gunakan tombol pencarian yang ada di situs ini.
Jadikitab suci Al-Qur‟an berada pada puncaknya sebagai sumber pertama dari syari‟ah Islam, Hadits sebagai sumber kedua, ijma atau konsensus sumber ketiga dan qiyas atau analogi sebagai sumber keempat. Jika tidak ditemukan ketentuan di dalam Al-Qur‟an untuk suatu kasus tertentu, sumber yang berikutnya adalah hadits.
SEORANG PENGGUNA TELAH BERTANYA 👇 Apa perbedaan ijma dan qiyas INI JAWABAN TERBAIK 👇 Tentang Apa perbedaan antara ijma dan qiyas? —————————- Menjawab PENGANTAR Assalamu’alaikum, serta rahmat dan berkah Allah Halo saudara-saudara yang sedang mencari ilmu, apa kabar? Kali ini Insya Allah kakak akan membantu menjawab pertanyaan di atas yaitu, “Apa perbedaan antara ijma dan qiyas?” mari kita bahas. DISKUSI Islam adalah agama yang sempurna, satu-satunya agama yang di dalamnya terdapat banyak penjelasan tentang bagaimana menjalani hidup. baik itu hukum keluarga, muamalat perdata, jinayat pidana, murafaat acara, administrasi negara, hukum ekonomi, keuangan dan bahkan hubungan antar bangsa. Tidak ada satu masalah pun yang terjadi dalam kehidupan ini tanpa hukum-hukum yang mengatur Islam. Jadi ulama berpendapat bahwa ada 4 sumber hukum yang digunakan dalam Islam, yaitu Al Quran, Sunnah Hadis, Ijma dan Qiyas. Ijma dan qiyas termasuk dalam sumber hukum Islam. Ijma, yaitu kesepakatan antar ulama mengenai suatu perkara jika tidak ditemukan hukum yang jelas dalam Al-Qur’an dan hadits. Para ulama menyampaikan pengertian ijma adalah “Kebulatan pendapat dari semua ahli ijtihad umat Muhammad, setelah kematiannya pada suatu waktu, tentang suatu hal hukum”. Ijma dapat dibedakan menjadi dua, yaitu ijma qauli dan ijma sukuti. Ijma Qauli adalah tempat para ulama melakukan ijtihad dengan menetapkan hukum lisan atau tertulis yang menjelaskan persetujuan suatu perkara. Jadi ijma sukuti adalah sikap diam para ulama terhadap suatu perkara yang telah ditetapkan undang-undang oleh mutjahid lain. Dengan persetujuan. Urutan penetapan hukum melalui ijma adalah sebagai berikut sebuah. Khulafaur Rashidin 4 pemimpin Islam pertama, jika tidak, maka B. Pendapat Imam Madzab sekarang hanya ada 4 yaitu Imam Syafi’i, Maliki, Hanbai, Hanafi, jika tidak C. Hasil ijma’ mutawatir para ulama, atau secara umum, yang disepakati oleh mayoritas ulama di seluruh dunia. Jangan menggunakan pendapat ahad, atau hanya mendapatkan persetujuan dari akademisi. Contoh penyelesaian dengan ijma adalah penetapan shalat tarawih berjamaah pada masa Sayiddina Umar, dan pembukuan Al-Qur’an yang dimulai pada masa Sayidina Abu Bakar. Qiyas, yaitu penetapan suatu hukum yang tidak memiliki ketentuan hukum atau Al-Qur’an, Hadits atau ijma. Membandingkan atau menyamakan suatu hukum yang ada, yang mempunyai persamaan. Contoh qiyas adalah larangan segala yang memabukkan, hukum asalnya adalah ALLAH melarang minum khamar karena memabukkan, kemudian kita mengambil qiyas untuk memberikan hukum haram terhadap segala sesuatu yang bukan alkohol dan yang mungkin memabukkan. Yakni, sabu, ganja, pil koplo, dan jenis narkoba lainnya. KESIMPULAN Perbedaan antara ijma dan qiyas adalah 1. Ijma memiliki prioritas di atas Qiyas. Jika dapat diselesaikan dengan ijma, maka tidak perlu dilakukan qiyas. 2. Ijma adalah hasil pemikiran para ulama mutjahid dalam menentukan suatu hukum yang diambil dari hasil penelitian Al-Qur’an dan Hadits, sedangkan qiyas adalah perbandingan yang dilakukan untuk menyelesaikan kasus-kasus yang belum pernah ada, yang kemudian dicari persamaannya dengan kasus-kasus dengan hukum yang jelas. BELAJARLAH LAGI Demikian jawaban saya, semoga bisa membantu, nah jika ada pertanyaan seputar agama lain bisa cek link dibawah ini. Insya Allah jawabannya khair karena sudah diverifikasi oleh tim intelektual. Coba lihat! Hikmah dan kandungan surah al-a’raf ayat 98 Sebutkan sumber hukum islam dan jelaskan 1 per 1 Sebutkan 15 hal yang harus dia tiru tentang Nabi. Ini bagus. Anda mengambil jawaban dari foto, kan? Tolong bantu, bisakah kamu mengambilnya? Mohon bantuannya, terima kasih banyak kakak. Oke, saudara-saudara, Semangat! Jangan lupa tandai sebagai jawaban TERBAIK! optitimkompetisi ……………………………………………….. …………………………………………………………. …………………………………………………………. …………………………………………………………. RINCIAN TANGGAPAN Kelas XI masalah agama Kategori BAB 1 – Al Quran sebagai pedoman hidup Kata kunci sumber hukum dalam Islam. Ijma dan Qiyas Kode
MakalahQoul Shahabi. Hukum Islam mengalami tantangan lebih serius, terutama abad kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Untuk menjawab berbagai pertanyaan baru yang berhubungan dengan hukum Islam, para ahlinya tidak tidak bisa lagi hanya mengandalkan ilmu tentang fiqh hasil ijtihad dimasa lampau. Alasannya karena ternyata warisan fiqh yang
ContohSoal Ijtihad dalam Islam Pilihan Ganda dan Jawaban – Ijtihad (bahasa Arab: اجتهاد) adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang sebenarnya bisa dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadis dengan syarat menggunakan akal sehat dan
Ijma Qiyas Hadist Apa yang dimaksud Dalil Naqli? Jawaban: Sumber hukum berdasarkan firman Allah SWT dan Sabda Nabi Muhammad SAW. Ijma’ dan Qiyas
TanyaJawab Islam adalah aplikasi kumpulan tanya jawab seputar keislaman yang dihimpun oleh tim PISS-KTB sebagai bacaan dan wawasan untuk masyarakat muslim indonesia, sangat banyak dan beragam pertanyaan yang diungkapkan oleh masyarakat, pertanyaan-pertanyaan tersebut sangat luas dan cocok untuk bacaan dan wawasan keislaman umat